Terjadi lagi hari ini,
hati kembali terasa membatu sebab dipaksa hanya diam. Orang-orang di negara ini
sudah terlalu paham untuk sebuah kepatuhan yang tidak seharusnya mereka
merunduk. Tapi inilah yang diajarkan manusia-manusia yang lebih dahulu menerima
asam garam kehidupan, yang katanya sudah benar-benar merasakan asin dan asam yang
terkadang sampai mengkerutkan dahinya, melipat sendi senyumnya, atau bahkan
harus menjilat air matanya sendiri. begitu mereka banggakan seolah bocah-bocah
didepannya tak akan pernah sampai pada kadar asam dan asin sepertinya.
Hari ini sang dewa
masuk sekitar pukul 11.20 wib. Entah apa yang menjadi alasannya melotot kesudut
45 derajat tepat di mana aku duduk, Apa yang dia lihat? apakah kertas yang
sedang aku tulis ini? Apa yang salah?.
Setelah mengucapkan
salam. Sang dewa memposisikan dirinya sebagai hakim di ruangan pengap ini, lalu
aku ingat kata-kata seorang Dosen yang mengatakan bahwa hakim adalah representasi Tuhan di dunia,
beberapa kata-katanya pasca salam yang terdengar hanya sebuah formalitas,
terdengar sangat tidak agung sebagaimana seharusnya posisi yang dia tempati.
Mukadimah yang dibacakan dalam setiap sidang jelas mengatakan “Atas nama
keadilan” namun hari ini sang dewa tidak sedikitpun mencerminkan itu, pada
keputusannya kali ini.
Aku hanya protes dan
mengadakan sidang di dalam pikiran-pikiranku sendiri, terjebak dalam keharusan
menghormati siapa yang berkuasa absolut.
Hari ini pengumpulan
tugas Makalah antah berantah, sebagai pengganti ketidak hadirannya pada
pertemuan senin lalu, beberapa bocah telah mengumpulkan beberapa menit sebelum
kehadirannya di dalam ruangan pengap itu, namun beberapa lainnya sengaja
menunggu kehadiran sang dewa, sebab ada rasa ingin menyerahkan sendiri hasil
karyanya, sebuah kebanggaaan tentunya.
Tetua menyerahkan
beberapa tugas yang telah dia kumpulkan dari beberapa bocah, sang dewa langsung
mengambilnya dan membuka beberapa tugas tersebut, ada beberapa yang nampak
mencolok, sebab rapi menggunakan jilitan toko kopian dan “ini yang saya pilih”,
katanya lugas.
Beberapa yang menyadari
kehadirannya dengan bangga menyodorkan tugasnya langsung kepada sang dewa, aku lihat cukup banyak yang maju satu persatu
untuk mengunmpulkan tugasnya langsung tapi semuanya diletakkan berbeda dengan
mereka yang mengumpulkan pada tetua terlebih dulu.
Malam ini aku nampaknya
sedikit lupa apa yang diucapkannya tadi siang. Intinya dia menganggap bahwa bocah-bocah
yang baru mengumpulkan tugas itu adalah mereka yang baru mengerjakan tak lama
sebelum masuk, aku rasa ini penilaaian yang benar-benar subjektif, karena tidak
semuanya begitu.
Dari sekian banyak
makalah akhirnya terpilihlah satu, sebab tugas itu adalah yang paling mencolok
karena di jilid di toko kopian. Hhehe. Yang membuat tugas mempresentasikan apa
yang dia tulis, aku mendengarkan dengan saksama dan itu hanya membuat aku
menjadi tambah bosan sebab apa yang di presentasikan tidak berfokus pada tema
yang ada, judulnya pun sudah menyimpang antah berantah. Sang dewa diam saja,
tanpa koreksi dan malah terbawa pada materi yang tidak menjadi tema makalah
yang dia perintahkan.
Dengan posisinya
sebagai hakim di ruangan itu dia benar benar memainkan perannya, dia
mengomentari tentang cinta tanah air mendeskripsikannya seperti tindakan para
prajurit TNI yang baru-baru ini diberangkatkan ke daerah perbatasan antara
Indonesia dan Malaysia di Pulau Kaalimantan lalu menganalogikan dengan wujud
kecintaan mahasiswa yang tidak harus seperti anggota TNI, mengatakan konsep
Jujur yag teramat penting bagi seorang Sarjana Hukum katanya. Lalu yang
terakhir dia menekankan pada Kedisiplinan, untuk pembahasan terakhir dia
menyinggung ketidak disiplinan bocah dalam mengumpulkan tugas, entah dalam hal
apa aku pun bingung, dia menganggap semua yang mengumpulkan tugas belakangan
adalah mereka yang mengerjakan di ruangan itu.
Sorot mata itu kembali
menuju ke arah ku dan teman disampingku. Aku mencoba menebak apa yang dia
pikirkan, mungkin dia berpikir aku dan temanku adalah sekelompok bocah yang
baru mengerjakan tugas itu, padahal apa yang kami kerjakan adalah tugas yang
lainnya, yang rencananya akan dikumppulkan esok hari, aku mengerjakan itu karena
bosan harus menunggu keterlambatannya masuk kelas, aku hanya memanfaatkan waktu
yang ada dan aku sudah berhenti setelah dia masuk. Dan tugasku juga sudah aku
kumpulkan pada tetua, tapi mengapah tatapan itu sinis sekali ke arah ku. Aku
hanya sedikit risih saja bung. Andaikan dia mengajakku bicara.
Belum kering lidahnya
berbicara tentang disiplin, jam baru menunjukkan pukul 11.41 wib atau 21 menit
setelah keberadaannya di ruangan pengap karena kotak pendingin hanya jadi
penghias dinding semata, dia mengakhiri kuliah hari ini dan kembali dengan
formalitas semata dia mengucapakan “salam”. Seharusnya “salam diucapakan pukul
12.40 wib paling tidak mendekati atau iringi dengan alasan logis jika memang
tak sampai mendekati.
Hari senin berakhir
pada kenyataan bahwa tampilan di negeri ini lebih utama dari pada isinya. Wajar
saja negeri ini terombang ambing tak jelas, sebab para nahkodanya hanya nampak
gagah luarnya sedangkan dalamnya .. anda tau jawabannya.
Senin, 02 desember 2013 22:37