Senin, 02 Desember 2013

Kali ini tentang Tampilan



Terjadi lagi hari ini, hati kembali terasa membatu sebab dipaksa hanya diam. Orang-orang di negara ini sudah terlalu paham untuk sebuah kepatuhan yang tidak seharusnya mereka merunduk. Tapi inilah yang diajarkan manusia-manusia yang lebih dahulu menerima asam garam kehidupan, yang katanya sudah benar-benar merasakan asin dan asam yang terkadang sampai mengkerutkan dahinya, melipat sendi senyumnya, atau bahkan harus menjilat air matanya sendiri. begitu mereka banggakan seolah bocah-bocah didepannya tak akan pernah sampai pada kadar asam dan asin sepertinya.
Hari ini sang dewa masuk sekitar pukul 11.20 wib. Entah apa yang menjadi alasannya melotot kesudut 45 derajat tepat di mana aku duduk, Apa yang dia lihat? apakah kertas yang sedang aku tulis ini? Apa yang salah?.
Setelah mengucapkan salam. Sang dewa memposisikan dirinya sebagai hakim di ruangan pengap ini, lalu aku ingat kata-kata seorang Dosen yang mengatakan bahwa  hakim adalah representasi Tuhan di dunia, beberapa kata-katanya pasca salam yang terdengar hanya sebuah formalitas, terdengar sangat tidak agung sebagaimana seharusnya posisi yang dia tempati. Mukadimah yang dibacakan dalam setiap sidang jelas mengatakan “Atas nama keadilan” namun hari ini sang dewa tidak sedikitpun mencerminkan itu, pada keputusannya kali ini.
Aku hanya protes dan mengadakan sidang di dalam pikiran-pikiranku sendiri, terjebak dalam keharusan menghormati siapa yang berkuasa absolut.
Hari ini pengumpulan tugas Makalah antah berantah, sebagai pengganti ketidak hadirannya pada pertemuan senin lalu, beberapa bocah telah mengumpulkan beberapa menit sebelum kehadirannya di dalam ruangan pengap itu, namun beberapa lainnya sengaja menunggu kehadiran sang dewa, sebab ada rasa ingin menyerahkan sendiri hasil karyanya, sebuah kebanggaaan tentunya.
Tetua menyerahkan beberapa tugas yang telah dia kumpulkan dari beberapa bocah, sang dewa langsung mengambilnya dan membuka beberapa tugas tersebut, ada beberapa yang nampak mencolok, sebab rapi menggunakan jilitan toko kopian dan “ini yang saya pilih”, katanya lugas.
Beberapa yang menyadari kehadirannya dengan bangga menyodorkan tugasnya langsung kepada sang dewa,  aku lihat cukup banyak yang maju satu persatu untuk mengunmpulkan tugasnya langsung tapi semuanya diletakkan berbeda dengan mereka yang mengumpulkan pada tetua terlebih dulu.
Malam ini aku nampaknya sedikit lupa apa yang diucapkannya tadi siang. Intinya dia menganggap bahwa bocah-bocah yang baru mengumpulkan tugas itu adalah mereka yang baru mengerjakan tak lama sebelum masuk, aku rasa ini penilaaian yang benar-benar subjektif, karena tidak semuanya begitu.
Dari sekian banyak makalah akhirnya terpilihlah satu, sebab tugas itu adalah yang paling mencolok karena di jilid di toko kopian. Hhehe. Yang membuat tugas mempresentasikan apa yang dia tulis, aku mendengarkan dengan saksama dan itu hanya membuat aku menjadi tambah bosan sebab apa yang di presentasikan tidak berfokus pada tema yang ada, judulnya pun sudah menyimpang antah berantah. Sang dewa diam saja, tanpa koreksi dan malah terbawa pada materi yang tidak menjadi tema makalah yang dia perintahkan.
Dengan posisinya sebagai hakim di ruangan itu dia benar benar memainkan perannya, dia mengomentari tentang cinta tanah air mendeskripsikannya seperti tindakan para prajurit TNI yang baru-baru ini diberangkatkan ke daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kaalimantan lalu menganalogikan dengan wujud kecintaan mahasiswa yang tidak harus seperti anggota TNI, mengatakan konsep Jujur yag teramat penting bagi seorang Sarjana Hukum katanya. Lalu yang terakhir dia menekankan pada Kedisiplinan, untuk pembahasan terakhir dia menyinggung ketidak disiplinan bocah dalam mengumpulkan tugas, entah dalam hal apa aku pun bingung, dia menganggap semua yang mengumpulkan tugas belakangan adalah mereka yang mengerjakan di ruangan itu.
Sorot mata itu kembali menuju ke arah ku dan teman disampingku. Aku mencoba menebak apa yang dia pikirkan, mungkin dia berpikir aku dan temanku adalah sekelompok bocah yang baru mengerjakan tugas itu, padahal apa yang kami kerjakan adalah tugas yang lainnya, yang rencananya akan dikumppulkan esok hari, aku mengerjakan itu karena bosan harus menunggu keterlambatannya masuk kelas, aku hanya memanfaatkan waktu yang ada dan aku sudah berhenti setelah dia masuk. Dan tugasku juga sudah aku kumpulkan pada tetua, tapi mengapah tatapan itu sinis sekali ke arah ku. Aku hanya sedikit risih saja bung. Andaikan dia mengajakku bicara.
Belum kering lidahnya berbicara tentang disiplin, jam baru menunjukkan pukul 11.41 wib atau 21 menit setelah keberadaannya di ruangan pengap karena kotak pendingin hanya jadi penghias dinding semata, dia mengakhiri kuliah hari ini dan kembali dengan formalitas semata dia mengucapakan “salam”. Seharusnya “salam diucapakan pukul 12.40 wib paling tidak mendekati atau iringi dengan alasan logis jika memang tak sampai mendekati.
Hari senin berakhir pada kenyataan bahwa tampilan di negeri ini lebih utama dari pada isinya. Wajar saja negeri ini terombang ambing tak jelas, sebab para nahkodanya hanya nampak gagah luarnya sedangkan dalamnya .. anda tau jawabannya.
Senin, 02 desember 2013    22:37

Kamis, 14 November 2013

Demi solidaritas itu, Demi tujuan itu, dan demi masa emas itu.



Dimana kawanku..
Dimana kawanku..

Beberapa bait yang masih aku ingat hari ini, dari beberapa mereka yang menyanyikannya dengan lantang, tegas dan fenomenal.
Beberapa hari yang lalu dalam momen peringatan sumpah pemuda yang kesekian kalinya, kita kembali merefleksikan perjuangan pemuda-pemuda tempo dulu yang senantiasa bergelora, bergejolak dan berjuang demi bangsa dan negara hinggga sampai ketitik ini, titik yang bukan jadi jawaban akhir dari sekian banyak tanda tanya yang tak kunjung terjawab.
Delapan puluh lima tahun sudah, setelah ikrar itu terpatri, dan dalam perjalannnya kini, masih bisa sedikit kita rasakan “Panas” dari hati tokoh-tokoh tersebut, yang bosan, geram, dan marah pada mayoritas Pemuda masa itu, yang tak kunjung bersatu, lebih merasa nyaman di perbudak di negeri sendiri, lebih merasa bangga dengan kedudukannya yang hanya “babu” di tanah yang melahirkannya.
Hati yang “panas” seperti beberapa tahun silam, mungkin dirasakan oleh beberapa rekan-rekan beberapa hari yang lalu. Ajakan, seruan bergabung untuk menyuarakan aksi, hanya dibalas dengan beribu-ribu sunggingan kecil. Tidak satu, namun dua, tiga, sepuluh dan berpuluh-puluh lainnya dengan santai menganggap itu hal yang biasa-biasa saja. Melangkah menjauh dan cukup melihat.
Geram dan marah? Ya itu jelas, ada kekecewaan yang mendalam yang saya lihat dari beberapa rekan-rekan yang bergabung dan para “Pentolan” aksi tersebut.
Lalu apa dasarnya banyak rekan-rekan kita enggan bergabung? Apa ketidak pahaman mereka terhadap suatu aksi?
Secara umum mungkin hal ini yang menjadi dasar dari ketidak pedulian rekan-rekan kita. Namun dalam beberapa pertanyaan yang saya ajukan pada mereka yang “enggan” sesunggunya mereka lebih dari sekedar paham dan mengerti bagaimana peran mereka kini sebagai mahasiswa. Mereka berteori, berpendapat dengan pemahaman masing-masing yang memang hak fitrah mereka. Semuanya benar, semuanya menjadi logis untuk bisa diterima. Anda menganggap Itu salah? Anda penjahat jika mengatakan itu salah di zaman ini bung!.
Pada hakekatnya suatu hari nanti entah kapan dan dimana,Harus ada satu suara, ada kepentingan yang jelas, tujuan yang sama, nasib yang sepenanggungan, perjuangan bersama, cita-cita yang luhur, kebebasan dari segala macam atribut, berbagai macam simbol, dan berbagai macam tetek bengek yang selama ini jadi jurang pemisah kita para pemuda. Egois, arogan, harus dibuang jauh-jauh. Kepentingan golongan-golongan itu harus di sisihkan sesegeranya. Kita sama, kita setara jikalau memang mau mewujudkan solidaritas itu. Tunjukkan bahwa kita berdiri tidak diatas kepentingan tertentu, kita independent, kita ada sebagai perubahan itu, kita melangkah karena lidah ini titipan mereka yang dipaksa bisu, atau kepada mereka yang senantiasa hanya berdoa kepada tuhan sebab bingung tak ada lagi yang mereka bisa lakukan.
Jembatan penghubung itu harus kita bangun kembali, kita temukan koponennya yang hilang, kita kokohkan konstruksinya. Demi solidaritas itu. Demi tujuan itu, dan demi masa emas itu. Salam semangat
Hidup Mahasiswa!
31/10/13 – 4:41 am