Dimana kawanku..
Dimana kawanku..
Beberapa bait yang masih aku
ingat hari ini, dari beberapa mereka yang menyanyikannya dengan lantang, tegas
dan fenomenal.
Beberapa hari yang lalu dalam
momen peringatan sumpah pemuda yang kesekian kalinya, kita kembali
merefleksikan perjuangan pemuda-pemuda tempo dulu yang senantiasa bergelora,
bergejolak dan berjuang demi bangsa dan negara hinggga sampai ketitik ini,
titik yang bukan jadi jawaban akhir dari sekian banyak tanda tanya yang tak
kunjung terjawab.
Delapan puluh lima tahun sudah,
setelah ikrar itu terpatri, dan dalam perjalannnya kini, masih bisa sedikit
kita rasakan “Panas” dari hati tokoh-tokoh tersebut, yang bosan, geram, dan
marah pada mayoritas Pemuda masa itu, yang tak kunjung bersatu, lebih merasa
nyaman di perbudak di negeri sendiri, lebih merasa bangga dengan kedudukannya
yang hanya “babu” di tanah yang melahirkannya.
Hati yang “panas” seperti
beberapa tahun silam, mungkin dirasakan oleh beberapa rekan-rekan beberapa hari
yang lalu. Ajakan, seruan bergabung untuk menyuarakan aksi, hanya dibalas
dengan beribu-ribu sunggingan kecil. Tidak satu, namun dua, tiga, sepuluh dan
berpuluh-puluh lainnya dengan santai menganggap itu hal yang biasa-biasa saja.
Melangkah menjauh dan cukup melihat.
Geram dan marah? Ya itu jelas,
ada kekecewaan yang mendalam yang saya lihat dari beberapa rekan-rekan yang
bergabung dan para “Pentolan” aksi tersebut.
Lalu apa dasarnya banyak
rekan-rekan kita enggan bergabung?
Apa ketidak pahaman mereka terhadap suatu aksi?
Secara umum mungkin hal ini yang
menjadi dasar dari ketidak pedulian rekan-rekan kita. Namun dalam beberapa
pertanyaan yang saya ajukan pada mereka yang “enggan” sesunggunya mereka lebih
dari sekedar paham dan mengerti bagaimana peran mereka kini sebagai mahasiswa.
Mereka berteori, berpendapat dengan pemahaman masing-masing yang memang hak
fitrah mereka. Semuanya benar, semuanya menjadi logis untuk bisa diterima. Anda
menganggap Itu salah? Anda penjahat jika mengatakan itu salah di zaman ini
bung!.
Pada hakekatnya suatu hari nanti
entah kapan dan dimana,Harus ada satu suara, ada kepentingan yang jelas, tujuan
yang sama, nasib yang sepenanggungan, perjuangan bersama, cita-cita yang luhur,
kebebasan dari segala macam atribut, berbagai macam simbol, dan berbagai macam tetek bengek yang selama ini jadi jurang
pemisah kita para pemuda. Egois, arogan, harus dibuang jauh-jauh. Kepentingan
golongan-golongan itu harus di sisihkan sesegeranya. Kita sama, kita setara
jikalau memang mau mewujudkan solidaritas itu. Tunjukkan bahwa kita berdiri
tidak diatas kepentingan tertentu, kita independent, kita ada sebagai perubahan
itu, kita melangkah karena lidah ini titipan mereka yang dipaksa bisu, atau
kepada mereka yang senantiasa hanya berdoa kepada tuhan sebab bingung tak ada
lagi yang mereka bisa lakukan.
Jembatan penghubung itu harus
kita bangun kembali, kita temukan koponennya yang hilang, kita kokohkan
konstruksinya. Demi solidaritas itu. Demi tujuan itu, dan demi masa emas itu.
Salam semangat
Hidup Mahasiswa!
31/10/13 – 4:41 am
Orasi yang bagus.. Lanjutkan bang :D
BalasHapus