Kamis, 14 November 2013

Demi solidaritas itu, Demi tujuan itu, dan demi masa emas itu.



Dimana kawanku..
Dimana kawanku..

Beberapa bait yang masih aku ingat hari ini, dari beberapa mereka yang menyanyikannya dengan lantang, tegas dan fenomenal.
Beberapa hari yang lalu dalam momen peringatan sumpah pemuda yang kesekian kalinya, kita kembali merefleksikan perjuangan pemuda-pemuda tempo dulu yang senantiasa bergelora, bergejolak dan berjuang demi bangsa dan negara hinggga sampai ketitik ini, titik yang bukan jadi jawaban akhir dari sekian banyak tanda tanya yang tak kunjung terjawab.
Delapan puluh lima tahun sudah, setelah ikrar itu terpatri, dan dalam perjalannnya kini, masih bisa sedikit kita rasakan “Panas” dari hati tokoh-tokoh tersebut, yang bosan, geram, dan marah pada mayoritas Pemuda masa itu, yang tak kunjung bersatu, lebih merasa nyaman di perbudak di negeri sendiri, lebih merasa bangga dengan kedudukannya yang hanya “babu” di tanah yang melahirkannya.
Hati yang “panas” seperti beberapa tahun silam, mungkin dirasakan oleh beberapa rekan-rekan beberapa hari yang lalu. Ajakan, seruan bergabung untuk menyuarakan aksi, hanya dibalas dengan beribu-ribu sunggingan kecil. Tidak satu, namun dua, tiga, sepuluh dan berpuluh-puluh lainnya dengan santai menganggap itu hal yang biasa-biasa saja. Melangkah menjauh dan cukup melihat.
Geram dan marah? Ya itu jelas, ada kekecewaan yang mendalam yang saya lihat dari beberapa rekan-rekan yang bergabung dan para “Pentolan” aksi tersebut.
Lalu apa dasarnya banyak rekan-rekan kita enggan bergabung? Apa ketidak pahaman mereka terhadap suatu aksi?
Secara umum mungkin hal ini yang menjadi dasar dari ketidak pedulian rekan-rekan kita. Namun dalam beberapa pertanyaan yang saya ajukan pada mereka yang “enggan” sesunggunya mereka lebih dari sekedar paham dan mengerti bagaimana peran mereka kini sebagai mahasiswa. Mereka berteori, berpendapat dengan pemahaman masing-masing yang memang hak fitrah mereka. Semuanya benar, semuanya menjadi logis untuk bisa diterima. Anda menganggap Itu salah? Anda penjahat jika mengatakan itu salah di zaman ini bung!.
Pada hakekatnya suatu hari nanti entah kapan dan dimana,Harus ada satu suara, ada kepentingan yang jelas, tujuan yang sama, nasib yang sepenanggungan, perjuangan bersama, cita-cita yang luhur, kebebasan dari segala macam atribut, berbagai macam simbol, dan berbagai macam tetek bengek yang selama ini jadi jurang pemisah kita para pemuda. Egois, arogan, harus dibuang jauh-jauh. Kepentingan golongan-golongan itu harus di sisihkan sesegeranya. Kita sama, kita setara jikalau memang mau mewujudkan solidaritas itu. Tunjukkan bahwa kita berdiri tidak diatas kepentingan tertentu, kita independent, kita ada sebagai perubahan itu, kita melangkah karena lidah ini titipan mereka yang dipaksa bisu, atau kepada mereka yang senantiasa hanya berdoa kepada tuhan sebab bingung tak ada lagi yang mereka bisa lakukan.
Jembatan penghubung itu harus kita bangun kembali, kita temukan koponennya yang hilang, kita kokohkan konstruksinya. Demi solidaritas itu. Demi tujuan itu, dan demi masa emas itu. Salam semangat
Hidup Mahasiswa!
31/10/13 – 4:41 am